Subscribe to our RSS Feeds
Hello, this is a sample text to show how you can display a short information about you and or your blog. You can use this space to display text or image introduction or to display 468 x 60 ads and to maximize your earnings.

MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI

2 Comments »
NAMA : M. AGUS SAPUTRA
NIM : J1D108204
PRODI : S-1 FISIKA
DOSEN : PAK KRISDIANTO


TUGAS MATA KULIAH PENGENALAN LINGKUNGAN LAHAN BASAH
(MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI, KAITANNYA DENGAN KONSEP FISIKA DAN MENDUKUNG PRINSIP BIOLOGI)

“MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS), KAITANNYA
DENGAN POLA PEMBANGUNAN PEMUKIMAN DAN BANJIR SEBAGAI MASALAH BERKELANJUTAN”

Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. Oleh karenanya, DAS merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DAS mempunyai arti penting terutama dalam hubungan ketergantungan antara hulu dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS pada daerah hilirnya sehingga perencanaan pembangunan daerah hulu menjadi sangat penting dalam manajemen DAS secara keseluruhan..
Banjir merupakan permasalahan yang sudah biasa terjadi di DAS. Banjir terjadi akibat adanya perubahan sistem DAS yang kontinu dimulai dari wilayah upstream (hulu) - downstream (bagian tengah) – middlestream (hilir) yang signifikan. Menurut Sinukaban (2007), sebagai contoh adalah banjir yang biasa terjadi di Jakarta adalah karena penggunaan lahan di kawasan DAS Ciliwung tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah. Akibatnya, sebagian besar air hujan tidak terserap tanah, tetapi mengalir di permukaan tanah, lalu langsung masuk ke sungai. Sehingga banjir merupakan fenomena yang harus ditangani secara menyeluruh dalam suatu DAS.
Pada kenyataannya, pola tata ruang pada banyak DAS di berbagai wilayah Indonesia, termasuk juga di Kalimantan Selatan (DAS Barito) memang masih mengalami banyak masalah. Peningkatan alih fungsi lahan menjadi daerah pemukiman semakin meningkat sementara luas kawasan hutan sebagai penyangga DAS semakin terdegradasi dari tahun ke tahun sehingga terjadi konversi lahan yang semakin tinggi. Berdasarkan data terakhir, luas daerah permukiman sub-DAS secara rata-rata semakin meningkat dari tahun 1981 sebesar 5 % dan terakhir tahun 2001 sebesar 27 % (Hermawati, 2006).
Untuk kasus DAS Ciliwung, banyak pendatang, terutama dari Jakarta, yang membangun villa atau rumah peristirahatan di sana. Pembangunan-pembangunan tersebut menyebabkan daerah resapan air berkurang padahal curah hujan di Bogor termasuk tinggi. Selain adanya pembangunan rumah, baik rumah tinggal maupun villa, tingginya biaya hidup menyebabkan wilayah hutan di hulu sungai Ciliwung terancam.
Berkurangnya daerah resapan air akibat penebangan hutan dan konversi lahan mengakibatkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah namun mengalir deras di batang sungai Ciliwung, dari hulu menuju hilir. Padahal, DAS Ciliwung di daerah hulu tidak terlalu lebar, apalagi jika ditambah dengan adanya penyempitan akibat pembangunan. Maka hal tersebut dapat menyebabkan air hujan meluap ke wilayah sekitar. Akhirnya banjir dan longsor di daerah hulu akan terjadi.
Di sisi lain, teknologi pengairan untuk daerah pemukiman di DAS Ciliwung sudah cukup canggih dengan menggunakan mesin pompa air (jet-pump). Ditambah lagi dengan kondisi pemukiman sangat padat terkonsentrasi di sekitar DAS, bahkan terdapat beberapa orang penduduk yang mendirikan rumah di bantaran sungai akibat semakin terbatasnya lahan untuk pemukiman. Dengan keberadaan pohon-pohon di sekitar DAS hulu Ciliwung wilayah bawah yang semakin sedikit, maka membuat tingkat penyerapan air menjadi buruk karena kepadatan pemukiman dalam bersaing menyerap air tanah yang ada.

DAS BARITO SEMAKIN KRITIS, 13 TITIK BERPOTENSI BANJIR
Sebagai perbandingan, kondisi DAS Barito juga semakin kritis akibat pembalakan hutan dan konversi penutupan lahan yang dulunya hutan menjadi permukiman dan pertambangan. Kondisi ini menyebabkan 13 titik di Kalsel berpotensi banjir. Terlebih saat curah hujan tinggi seperti sekarang ini. Kepala Balai Pengelolaan DAS Barito Kalsel, Eko Kuncoro mengungkapkan, 13 titik tersebut adalah Tabukan (Batola), Amuntai Selatan, Babibrik dan Sungai Pandan (HSU), hampir seluruh wilayah HSS, Kabupaten Banjar, Kintap, Bati-Bati, Pelaihari (Tala), Satui, Kelumpang dan Batulicin (Tanbu), Pulau Laut Selatan dan Pulau Laut Utara (Kotabaru).
Bencana banjir di sebagian wilayah Kalsel termasuk bencana alam yang hampir pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan. Bencana banjir ini ditentukan oleh banyak hal yang merupakan bagian dari karakteristik wilayah dan masyarakat Kalsel itu sendiri. Pertama, karakteristik DAS dari aspek biogeofisikal yang mampu memberikan ciri khas tipologi DAS tertentu. Kedua, aspek meteorologis-klimatologis, terutama karakteristik curah hujan yang mampu membentuk badai atau hujan maksimum. Ketiga, aspek sosial ekonomi masyarakat, terutama karakteristik budaya yang mampu memicu terjadinya kerusakan lahan DAS, sehingga wilayah DAS tersebut tidak mampu lagi berfungsi sebagai penampung, penyimpan, dan penyalur air hujan yang baik (Kliping WALHI Kalsel, Desember 2008).
Sebagaimana kasus DAS Ciliwung di Jakarta, aktivitas di daerah hulu sering dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Seperti pada DAS Barito, daerah hulunya telah terjadi konversi penutup lahan yang cukup signifikan dari hutan ke tambang. Sehingga air hujan yang jatuh tidak akan ditangkap oleh kanopi dan diresapkan secara perlahan ke dalam tanah, lalu ditampung oleh akar. Tapi air langsung menjadi over land flow atau limpasan karena tanah tambang biasanya dikupas hingga ke batuan induknya (bed rock). Limpasan ini kemudian masuk ke alur sungai. Karena cukup banyak, maka tidak tertampung dan sebagian meluap, sehingga mengakibatkan banjir di beberapa daerah seperti Kabupaten Tabalong, Balangan bahkan hingga Hulu Sungai Utara.
Sebagaimana wilayah Kabupaten Banjar, potensi banjir juga diakibatkan oleh hujan yang turun terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga Waduk Riam Kanan akan semakin penuh. Guna menghindari jebolnya waduk yang cukup dimakan usia tersebut, dibukalah pintu-pintu air di daerah bawahnya. Akibatnya, Kecamatan Karang Intan dan Martapura akan tergenang, karena badan sungai tidak mampu menampung air tersebut (klipinglainnya.blogspot.com).
Sedangkan di Tanah Bumbu dan Tanah Laut, banjir berpotensi akibat adanya arus pasang air laut, sehingga air sungai dari hulu tidak akan lancar atau terhambat di muara sungai. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab bencana banjir di dearah ini.
Di Hulu Sungai Utara dan Hulu Sungai Selatan, ancaman banjir disebabkan Sungai Negara yang merupakan salah satu anak Sungai Barito telah mengalami pendangkalan yang cukup signifikan, sehingga kurang mampu lagi menampung air dari daerah hulu. Hal ini menyebabkan HSU dan sekitarnya akan tergenang bila sungai ini meluap.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Kliping WALHI Kalsel : DAS Barito Semakin Kritis, 13 Titik Berpotensi Banjir@ klipinglainnya.blogspot.com, diakses 27 Mei 2009.

Hermawati R. 2006. Pola Spasial Perkembangan Permukiman dan Kaitannya Dengan Jumlah Penduduk (Studi Kasus Sub DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

2 Responses to "MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI"

suparlan Says :
31 Desember 2009 pukul 00.12

uuiiiii,,,,,
putraaa

ALIANSI PENGELOLA HUTAN RAKYAT-APHR Says :
12 Juli 2012 pukul 22.45

Perlu ditampilkan bahwa DAS sebagai satu kesatuan ekosistem memiliki keterkaitan unsur biota fisik dan sosial serta ekonomi yang selalu mengalami tarik ulur kepentingan. Keberhasilan mengelola unsur-unsur tersebut menjadi kunci penting pengelolaan DAS salah satunya untuk pengendalian banjir.

Posting Komentar